Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang memiliki banyak cerita mengenai wisata budaya serta sejarah. Palembang memiliki keberagaman budaya, salah satunya memiliki hubungan erat dengan budaya Tionghoa.
Jika liburan ke Kota Palembang akan terasa kurang apabila tidak menginjakan kaki di Kampung Kapitan. Kampung seluas 165,9 x 85,6 meter ini terletak di tepi Sungai Musi atau berada di Jalan KH Azhari, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Kampung Kapitan merupakan kampung etnis Tionghoa pertama di Palembang yang sudah ada sejak Dinasti Ming atau abad ke XIV. Dahulu kampung ini merupakan area pemukiman masyarakat etnis Tionghoa di Palembang. Kampung ini juga menjadi pusat perdagangan hingga menjadi pusat pemerintah di masa kolonial Belanda.
Saat itu Kerjaan Cina membentuk lembaga dagang yang berpusat di Palembang, sehingga pedagang Cina banyak yang menetap dan menikah dengan gadis asli Palembang. Lioang Taow Ming merupakan kepala kantor dagang Cina yang terkenal dan memiliki pengaruh kuat pada komunitas Cina.
Kemudian, jabatan diwariskan secara turun-temurun kepada pewarisnya, yaitu Tjoa Kie Tjuan. Tjoa Kie Tjuan merupakan pimpinan masyarakat Cina Palembang pertama, ia memiliki gelar mayor. Masa kepemimpinannya dari tahun 1830-1855 di kawasan 7 Ulu. Setelah itu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh putranya yang bernama Tjoa Han Him, dengan pangkat kapiten atau kapten menggantikan ayahnya.
Menurut sejarah Tjoa Han Him dipercaya untuk mengawasi pajak. Pada masa kepemimpinannya daerah ini diberi nama Kampung Kapitan yang merupakan gelar dan julukannya.
Di Kawasan Kampung Kapitan ini terdapat 15 bangunan rumah panggung milik etnis Tionghoa, namun kini jumlah rumah tersebut berkurang hingga kini hanya tersisa dua rumah saja.
Dua bangunan yang tersisa ini dikenal dengan sebutan rumah kayu dan rumah batu. Sesuai namanya, rumah kayu dibangun dari pondasi berbahan dasar kayu pulay. Dengan interior dan langit-langit yang juga menggunakan kayu. Rumah kayu ini berfungsi sebagai tempat ibadah sedangkan rumah batu digunakan untuk pertemuan dan pesta.
Lebar dari rumah ini sekitar 24 x 50 meter, dilengkapi dengan 4 kamar besar dan 2 kamar kecil pada masing-masing rumah. Terdapat pula penjara yang berada tepat di bawah rumah tua ini. Hadir dengan kekentalan arsitektur Cina, rumah tua ini didominasi nuansa warna merah.
- Double Diskon Ala BATIQA Hotels
- Bali Jadi Destinasi Wedding Terbaik Dunia
- Kimaya Group Luncurkan 3 Hotel di Jakarta, Yogya, & Bandung
- Labuan Bajo Destinasi Super Prioritas
- Inspirasi Desain Kamar Anak Perempuan
Meski pernah menjadi kawasan pecinan, namun corak arsitektur kedua bangunan ini juga disisipi oleh nuansa budaya Melayu dan Eropa-Belanda, lho. Hal ini terlihat dari bentuk rumah kapitan yang mengadopsi perpaduan ketiganya. Pilar di bagian depan dengan tengah yang menggembung terlihat dengan ciri khas bangunan Eropa.
Sedangkan bagian depan rumah ini mengambil bentuk rumah limas khas Palembang dan Melayu.
Kemudian di bagian tengah rumah, terdapat ruang terbuka yang jadi ciri khas bangunan Cina. Ruang terbuka ini memiliki fungsi sebagai sumber pergantian udara dan masuknya cahaya.
Kini, kedua rumah tua ini pun dijadikan sebagai tempat tinggal para keturunan kapiten karena mereka ikut mengurus rumah ini. Meski awalnya dua rumah ini nggak layak dihuni karena kondisi yang rapuh, sejak jadi cagar budaya rumah tersebut diperbaiki meski belum sempurna.
Kampung Kapitan ditetapkan sebagai lokasi wisata oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2008.
Jika Anda berkunjung ke Palembang jangan lupa untuk berswafoto di Kampung Kapitan.